Freelance Jobs

Monday, March 15, 2010

86 Tahun Masa Belajar O'Sensei (bagian 2)

Masa Muda Sebagai Prajurit

Di tahun 1901 ketika ia berumur 18 tahun, O'Sensei mengambil langkah pertama dalam usahanya untuk memenuhi ambisinya. Ia pergi ke Tokyo karena ia ingin menjadi pedagang besar. Di siang hari ia bekerja di sebuah perkulakan besar, dan malamnya mempelajari Kito Ryu Jujutsu. Terkadang ia juga pergi untuk mendengarkan pidato politik. Namun sayangnya setelah beberapa bulan, ia terkena penyakit beriberi jantung, dan terpaksa pulang ke rumah.

Hal tersebut menguatkan niatnya untuk memperkuat fisiknya dan setelah sembuh ia merintisnya dengan berjalan kaki 4 KM sehari. Ini dilakukannya selama 10 hari. Kemudian ia tambah lagi selama 20 hari. Kemudian ia tingkatkan dengan berlari. Lambat laun kekuatan fisiknya meningkat hingga mampu mengangkat 2 bal padi, dimana sebelumnya ia bahkan tidak bisa mengangkat walau hanya 1 bal saja. Ketika berusia 20 tahun ia terlihat sangat berbeda dengan sebelumnya. Walaupun tubuhnya tetap pendek, namun ia jauh lebih kuat dibadingkan dengan orang biasa. Tetapi O'Sensei tidak puas hanya dengan menjadi kuat. Ia pergi ke Sakai untuk mempelajari Yagyu-ryu Jujutsu. Pada masa ini ia berkecimpung di dunia perikanan dan dalam usaha mengatasi masalah perbatasan yang dihadapi oleh desanya. Hal tersebut membuatnya menjadi populer di desanya. Di masa ini pulalah ia terlibat berbagai macam kegiatan yang membuat ayahnya jadi pusing tujuh keliling.

86 Tahun Masa Belajar O'Sensei (bagian 1)

Kilasan Pertama Budo Dalam Pikiran Seorang Anak

Morihei Ueshiba lahir di Tanabe, Propinsi Kii (sekarang Wakayama), semenanjung yang terletak di sebelah Selatan pulau utama Jepang, di bulan November 1883.

Hingga berusia 14 tahun, O'Sensei kelihatan lemah dengan tubuh yang pendek dan kurus, namun sebenarnya ia kuat dan perilakunya agak berbeda dengan orang lain. Ia telah tertarik kepada budo sejak berusia sekitar 10 tahun.

Ketika ia berusia 12 tahun, ayahnya, Yoroku yang merupakan seorang anggota dewan perwakilan rakyat setempat, juga merangkap sebagai kepala desa tersebut. Ketika itu, seorang preman lokal yang merupakan kaki tangan lawan politik ayahnya, datang ke rumah untuk bernegosiasi. Kadang-kadang mereka menganiaya ayahnya cukup parah. O'Sensei berkata bahwa melihat hal yang cukup sering terjadi ini menciptakan perasaan yang mendalam dalam hatinya. Ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk menjadi kuat dengan cara apapun, dan mengalahkan para penyerang ayahnya.

Wednesday, February 17, 2010

Seni Bela Diri Pra-Aikido

Kecintaan O'Sensei yang begitu kuat kepada budo membuatnya tidak pernah absen untuk mengunjungi atau mengundang para praktisi budo yang singgah di kampung halamannya dan meminta pengajaran dari mereka. Penjelajahannya terhadap berbagai macam tradisi bela diri berasal dari rasa ingin tahunya yang besar.

Guru pertama O'Sensei dalam mempelajari bela diri di masa remajanya adalah Tokusaburo Tozawa dari Kito Ryu Jujutsu.

Guru berikutnya adalah Masakatsu Nakai dari Goto-Ha Yagyu Ryu Jujutsu yang ketika itu tinggal di Kota Sakai. Ia menyebutkan bahwa bukti peninggalan dari ajaran ini terlihat dari gerakan tangan dan kuda-kuda aikido. O'Sensei kira-kira berusia 20 tahun ketika ia belajar di bawah bimbingan Nakai.

Ketika bergabung dengan Resimen ke-61 Angkatan Darat Jepang di tahun 1903, ia sempat berhenti belajar bela diri. Ia kembali dari Manchuria setelah perang antara Jepang & Rusia usai dan menempati pos di Hamadera. Ia kembali mengunjungi Nakai untuk mempelajari bela diri lagi di waktu senggangnya. Nakai merupakan keturunan dari keluarga Yagyu, yang terkenal akan tradisi pedangnya, dan secara fisik cukup kekar walaupun tingginya hanya sekitar 155 cm. Nakai juga memiliki jiwa ksatria yang baik. O'Sensei dianugrahi sertifikat dari aliran ini pada bulan Juli 1908.

O'Sensei kemudian mendapat sertifikat dari Sokaku Takeda dari Daito Ryu Aiki Jujutsu pada bulan Mei 1916. Periode ini memiliki ikatan yang kuat dengan lahirnya Aikido, seperti yang akan diceritakan nanti.

Kemudian pada sekitar tahun 1924 & 1925, O'Sensei mencurahkan waktunya untuk mempelajari ilmu tombak (bojutsu). Kisshomaru, anaknya yang pada waktu itu masih kecil, sering menangis melihat ayahnya babak belur terkena serangan tombak. Pada saat itu O'Sensei sedang bereksplorasi dengan tai sabaki. Sangat jelas bahwa hal ini nantinya menjadi dasar gerakannya dalam menggunakan jo, bo, dan juga irimi dalam Aikido.

O'Sensei mendalami jujutsu tradisional, khususnya pada periode 1910 hingga 1925. Jika saja ia bertahan di salah satu aliran, Aikido tentu tidak akan lahir, karena walaupun Aikido berlandaskan elemen-elemen dari tradisi kuno, namun Aikido juga merupakan bagian dinamis dari masyarakat modern.

Monday, February 8, 2010

Pengantar (bagian 3)

Sekembalinya ke Jepang, ia melanjutkan kehidupan lamanya mempelajari dan berlatih di dojo kecil yang ia bangun di salah satu bagian rumahnya. Di tahun terakhir ia tinggal di sana, seorang perwira Angkatan Laut dan pelatih kendo datang ke dojonya. Sang praktisi jujutsu berusaha menjelaskan teorinya tentang "Aiki" kepada sang praktisi kendo namun sepertinya tujuan sang praktisi kendo datang berkunjung ke sana semata-mata hanyalah bertarung. Pada akhirnya, Ueshiba setuju untuk mengadakan pertarungan. Sang perwira Angkatan Laut menerjang ke depan dengan pedang kayunya namun setiap tebasan dapat dihindarkan dengan mudah oleh Ueshiba. Akhirnya sang penantang terduduk tanpa sekalipun bisa menyentuh Ueshiba.
Setelah pertarungan itu Ueshiba keluar menuju taman dan pada saat ia berdiri di bawah pohon kesemek sambil membasuh peluh di wajahnya, tiba-tiba ia diliputi oleh perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia terpaku, tak sanggup berjalan bahkan duduk. Seakan-akan kakinya mengakar ke tanah sambil diliputi oleh rasa heran yang amat sangat. Ia menceritakan pengalaman tersebut seperti berikut:
Aku merasa alam semesta tiba-tiba merekah, dan cahaya keemasan keluar dari tanah di bawah kakiku, melingkupiku, dan mengubah tubuhku menjadi seakan terbuat dari emas.
Di saat yang bersamaan tubuh dan pikiranku terasa ringan. Aku dapat memahami arti kicauan burung, juga mengerti keinginan Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta ini. Di saat itu aku mengalami pencerahan: sumber dari budo adalah cinta Tuhan, cinta yang memberi perlindungan bagi seluruh mahluk. Air mata bahagia membasahi pipiku.
Sejak saat itu tumbuh perasaan bahwa seluruh bumi ini adalah rumahku, dan bulan serta bintang adalah bagian dari diriku. Aku terbebas dari segala keinginan, bukan hanya dari keinginan akan kedudukan, kemahsyuran, dan harta benda, tapi juga dari keinginan untuk menjadi kuat. Aku mengerti: Budo bukanlah mengenai menjatuhkan lawan dengan kekuatan kita, atau alat untuk membuat kerusakan di atas bumi ini. Budo sejati adalah menerima jiwa & semangat alam semesta, menjaga perdamaian di bumi, mengambil hasil, melindungi, dan memanfaatkan alam dengan sewajarnya. Aku mengerti: melatih jiwa budo berarti menerima cinta Tuhan, yang berarti mengambil hasil, melindungi, dan memanfaatkan alam dengan sewajarnya, dan menyatukannya dengan pikiran dan tubuh kita.

Pemikiran ini merevolusi hidupnya dan melahirkan Aikido.

Saturday, February 6, 2010

Pengantar (bagian 2)

Orangtua Ueshiba membesarkan anaknya untuk memiliki ketertarikan yang luar biasa besar terhadap pemikiran spiritual. Sejak berusia tujuh tahun ia sudah memiliki hubungan dengan beberapa guru keagamaan. Namun bahkan dengan pelatihan keagamaan yang selama ini dipelajarinya, Ueshiba muda belum dapat mempersatukan kepercayaan spiritualnya dengan pencapaian fisiknya di bidang seni pedang dan bela diri tangan kosong.

Setelah sakit yang berkepanjangan ayahnya akhirnya meninggal dunia. Ueshiba muda sangat berduka atas kepergian beliau. Ia bersumpah di depan makam ayahnya untuk mendobrak kebuntuan mental, berkembangan lebih maju, dan menyingkap rahasia budo. Sejak saat itu hidupnya berubah drastis.

Terkadang Ueshiba yang berduka berdiri di puncak gunung dekat rumahnya dengan mengenakan baju putih dan merapalkan doa-doa Shinto. Sahabat-sahabatnya khawatir ia jadi gila. Ia sendiri menyadari bahwa ada sesuatu, unsur tertentu, yang belum ia temukan dalam hidupnya. Akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan salah satu sekte Shinto yang dipimpin oleh pendeta yang amat ia kagumi sejak sebelum ayahnya meninggal. Dengan membawa serta seluruh keluarganya, ia pindah ke sebuah rumah kecil di kaki sebuah gunung dekat Kyoto dimana sekte tersebut berpusat dan memulai tujuh tahun masa pembelajarannya. Ia kemudian menjadi ajudan Orang Suci tersebut bahkan mengawalnya dalam perjalanan penuh bahaya ke benua Asia dimana mereka sering menemui pengalaman yang mengancam jiwa. Ketika dalam perjalanan itulah, di hadapan kematian, ia mulai dapat "melihat".